Ada suara yang hanya bisa didengar jika kita duduk cukup lama di tepi laut: suara ombak yang bukan sekadar dentuman, tapi seperti bisikan panjang dari masa lalu tentang laut yang pernah menjadi tempat suci, tenang, dan dihormati. Suara itu kini bercampur bunyi plastik yang bergesekan di pasir, botol kosong yang menggelinding, dan gemerisik kemasan mie instan yang tersangkut di akar cemara.
Siang itu, 27 September 2025, saya duduk diPendopo rumah komunitas Garduaction. Angin pesisir Parangkusumo menyapu lembut, menyisakan aroma garam dan asap tipis dari sisa pembakaran plastik. Hari itu, komunitas ini menjadi tuan rumah Srawung Demokrasi, sebuah forum yang digagas Suryakanta Institute untuk mempertemukan warga, pegiat, dan pemikir, dalam diskusi yang mengaitkan demokrasi, lingkungan hidup, dan hak konstitusional.
Kami berbicara panjang soal keadilan ekologis, ruang hidup warga pesisir, dan peran negara dalam melindungi hak atas lingkungan. Tidak hanya berdiskusi, kami turun langsung ke pantai, memunguti plastik-plastik yang terdampar semalaman, memilah sampah, dan mengantarkannya kembali ke Garduaction untuk diolah. Di sana, saya melihat sendiri limbah plastik bisa berubah menjadi cornblock, wayang daur ulang, pot bunga dan kursi taman.
Baca Juga: Srawung Demokrasi #2 Potensi dan Tantangan Waste to Energy
Warga setempat menyebut sampah-sampah itu “kiriman”. Sebagian besar datang dari laut. Sisanya dari para wisatawan yang entah tak peduli atau tak sadar meninggalkan bekas liburan mereka di pasir. “Kami bersihkan setiap pagi. Kalau tidak, siapa lagi?” ujar salah satu warga dengan nada lelah yang disembunyikan oleh senyum.
Di tengah pasir dan botol bekas itulah saya merenung: mengapa upaya luar biasa warga ini dibiarkan sendiri? Di mana negara? Di mana konstitusi yang seharusnya menjamin mereka?
Warga menjalankan mandat konstitusi sendirian
Indonesia bukan negara yang lupa menulis konstitusi. Kita punya pasal yang sangat indah, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat” (Pasal 28H ayat 1). Ada pula pasal 33 ayat (4) yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Dua pasal ini sering disebut sebagai cerminan dari Green Constitution—sebuah bentuk pengakuan tertinggi bahwa lingkungan yang sehat bukanlah anugerah, melainkan hak konstitusional setiap warga negara. Seperti banyak hal lain yang terdengar agung di atas kertas, pasal-pasal ini sering gagal mendarat di pasir.
Di Parangkusumo, dan di banyak pantai lainnya, konstitusi tidak pernah benar-benar tiba. Ia tidak datang dalam bentuk sistem pengelolaan sampah, tidak hadir dalam perlindungan komunitas, tidak ada dalam anggaran desa, bahkan tidak dikenal oleh aparat lokal yang lebih sibuk mengatur parkir daripada menyusun kebijakan lingkungan.
Alih-alih menunggu perintah, justru penduduk setempat yang berinisiatif melaksanakan tugas konstitusional itu setiap hari tanpa imbalan. Tindakan mereka mengumpulkan sampah adalah bentuk ketaatan praktik terhadap hak asasi yang bahkan belum pernah mereka pelajari. Yang kita lihat hari ini justru warga yang menjalankan mandat konstitusi sendirian.
Baca Juga: Green Constitution dan Masa Depan Energi Terbarukan di Indonesia
Keramahan yang melukai
Masyarakat pesisir dikenal sebagai masyarakat yang terbuka dan ramah. Mereka menerima wisatawan, menyediakan penginapan, menyewakan kendaraan ATV, menjual kelapa muda dan bakso bakar. Namun keramahan ini datang dengan harga mahal: mereka juga yang harus membersihkan jejak yang ditinggalkan pengunjung.
Wisatawan datang, menikmati senja, dan pergi. Tapi jejak mereka tertinggal. Yang harus menyapu jejak itu adalah warga, anak-anak yang belum sekolah, ibu-ibu yang baru selesai masak, bapak-bapak yang habis melaut. Tidak ada sistem yang mengatur, tidak ada upah, tidak ada apresiasi.
Ketika negara absen, keramahan berubah menjadi kerentanan. Warga menjadi penjaga pantai tanpa seragam, relawan lingkungan tanpa gaji, pelaksana konstitusi tanpa perlindungan. Di sinilah ketidakadilan ekologis menjelma nyata: mereka yang paling tidak bersalah justru menjadi yang paling terdampak dan paling bertanggung jawab (Purwendah et al., 2022).
Ilusi solusi dan tangan hampa negara
Negara sering kali tampil dengan jargon besar:waste-to-energy,transisi hijau,carbon offset, dan berbagai istilah megah lainnya. Semua itu terasa jauh dan asing di Parangkusumo. Tidak ada pengolahan limbah modern. Tidak ada armada pengangkut sampah yang terjadwal. Tidak ada sistem pemilahan yang terintegrasi antara pengunjung, pelaku wisata, dan komunitas.
Apa yang terjadi justru sebaliknya: inisiatif warga berjalan sendiri, menambal lubang kebijakan dengan tenaga dan kreativitas. Garduaction adalah contohnya. Mereka mengolah plastik menjadi bahan bangunan, kerajinan, hingga media edukasi.
Dukungan yang Garduaction terima lebih sering datang dari sesama warga, bukan dari kebijakan negara. Padahal dalam kajian hukum lingkungan, kebijakan yang tidak disertai partisipasi publik dan keberpihakan sosial hanya akan menjadi etalase dari greenwashing konstitusional: pura-pura peduli pada lingkungan, tanpa komitmen struktural yang nyata (Diaz et al., 2023; Shanty Saleh & Spaltani, 2021)
Baca Juga: Presiden Prabowo Pimpin Rapat Terbatas Bahas Waste to Energy
Amdal tanpa suara warga
Salah satu contoh nyata abainya negara terlihat pada kebijakan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Dalam regulasi terbaru, Perpres No. 2 Tahun 2022, ruang partisipasi warga dalam penyusunan Amdal justru dipersempit: hanya komunitas yang terdampak langsung yang dapat berpartisipasi.
Padahal, dalam logika keadilan ekologis, dampak lingkungan tidak selalu linier dan mudah diidentifikasi. Arus laut membawa sampah jauh dari sumbernya. Keputusan industri di hulu bisa berdampak ke pesisir. Pembatasan partisipasi warga merupakan tindakan sadar negara yang mencegah masyarakat memenuhi hak konstitusional mereka untuk terlibat dalam pelestarian lingkungan (Herlindah et al., 2024).
Yang paling mengkhawatirkan bukanlah rusaknya pantai, tapi rusaknya kepercayaan. Ketika warga tidak lagi merasa dilindungi negara, konstitusi kehilangan makna. Ia menjadi teks mati, simbol tanpa substansi. Sayangnya, lembaga sekelas Mahkamah Konstitusi belum memainkan perannya secara maksimal dalam mengartikulasikan hak atas lingkungan hidup sebagai hak asasi yang bisa ditegakkan secara hukum (Gading Pinilih et al., 2025; Syahruddin et al., 2021).
Jika konstitusi benar-benar hidup
Bayangkan jika konstitusi benar-benar hadir di pantai Parangkusumo. Pengelolaan wisata tidak hanya soal estetika, tapi juga ekologi. Setiap pengunjung membayar kontribusi pengelolaan limbah. Pemerintah daerah menempatkan infrastruktur daur ulang yang layak. Komunitas seperti Garduaction mendapat dukungan dana, bukan hanya ucapan terima kasih.
Produk-produk daur ulang seperti cornblock plastik bukan sekadar inisiatif kreatif warga, tapi menjadi bagian dari sistem ekonomi sirkular nasional. Warga tidak lagi sendiri dalam menjaga pantai karena mereka tahu, konstitusi berdiri bersama mereka.
Ombak Parangkusumo akan terus datang dan pergi, menyapu pasir, menghapus jejak kaki, dan membawa sampah baru dari laut. Tapi di sela-sela itu, ada satu pertanyaan yang tidak pernah hilang:Apakah konstitusi hijau kita akan terus tenggelam di lautan sampah, atau suatu hari akan benar-benar hidup dan melindungi mereka yang selama ini tanpa pamrih menjaganya?