La Nina merupakan fenomena iklim global yang terjadi ketika suhu permukaan laut (SML) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur menurun di bawah kondisi normal. Fenomena ini termasuk dalam siklus El Nino–Southern Oscillation (ENSO) dan memiliki pengaruh besar terhadap pola cuaca di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
La Nina kerap dijuluki sebagai “pemanggil hujan” karena fenomena ini biasanya memicu peningkatan curah hujan di berbagai wilayah Indonesia. Namun di balik manfaatnya bagi ketersediaan air dan pertanian, La Nina juga berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang.
Apa Itu La Nina?
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), La Nina merupakan fenomena ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur menjadi lebih dingin dari rata-rata, biasanya turun sekitar 0,5°C atau lebih di bawah kondisi normal.
Pendinginan ini terjadi akibat interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, terutama karena penguatan angin pasat dari timur yang mendorong massa air hangat ke arah barat menuju kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Akibatnya, air laut dingin dari lapisan bawah naik ke permukaan di wilayah tengah dan timur Pasifik melalui prosesupwellingsehinggamenurunkan suhu di kawasan tersebut.
Baca Juga: 8 Kebiasaan Sederhana yang Dapat Menjaga Lapisan Ozon
La Nina umumnya muncul setiap 2 hingga 7 tahun dan berlangsung selama 9 hingga 12 bulan, dan dapat bertahan lebih lama. Fenomena ini biasanya mencapai puncaknya pada musim dingin di Belahan Bumi Utara, yaitu antara Desember hingga Februari. Selama periode tersebut, La Nina dapat mempengaruhi pola cuaca global dengan meningkatkan curah hujan di wilayah tropis seperti Indonesia dan Australia, serta mengubah intensitas angin dan suhu di berbagai belahan dunia.
Penyebab La Nina
1. Angin Pasat yang Kuat
Angin pasat merupakan angin yang bertiup dari timur ke barat di sepanjang wilayah ekuator. Saat La Nina terjadi, angin ini menguat dan mendorong massa air hangat ke arah barat kemudian menuju kawasan Asia dan Australia. Akibatnya, air hangat menumpuk di bagian barat Samudra Pasifik, sementara air laut dingin dari kedalaman naik ke permukaan di wilayah tengah dan timur Pasifik.
2. Proses Upwelling
Akibat terdorongnya air hangat ke arah barat, air laut dingin dari lapisan bawah naik ke permukaan di wilayah tengah dan timur Pasifik, terutama di sepanjang pesisir barat Amerika Selatan. Proses ini, yang dikenal sebagaiupwellingyangmembawa nutrisi penting bagi kehidupan laut, namun sekaligus menurunkan suhu permukaan laut di kawasan tersebut.
3. Perbedaan Tekanan Atmosfer
La Nina juga dipicu oleh perbedaan tekanan udara antara bagian barat dan timur Samudra Pasifik. Tekanan atmosfer yang lebih rendah di sekitar Indonesia dan Australia dibandingkan dengan Amerika Selatan memperkuat pola sirkulasi udara yang dikenal sebagaisirkulasi Walker. Pola ini mendorong pembentukan awan dan peningkatan curah hujan di wilayah barat Pasifik.
4. Gelombang Rossby
Gelombang Rossby merupakan gelombang atmosfer yang bergerak di sepanjang perbatasan antara perairan hangat di barat dan perairan dingin di timur Pasifik yang turut berperan memperkuat La Nina. Gelombang ini membantu menyebarkan efek pendinginan ke seluruh Samudra Pasifik.
Ciri-Ciri La Nina
1. Penurunan Suhu Permukaan Laut
Suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur dapat turun jauh di bawah rata-rata, bahkan mencapai 4°C lebih dingin dari kondisi normal seperti yang tercatat pada peristiwa La Nina tahun 1988–1989.
2. Kemarau Basah
La Nina memicu peningkatan curah hujan, bahkan di periode yang seharusnya kering. Kondisi ini dikenal sebagai “kemarau basah,” ketika wilayah yang biasanya gersang justru diguyur hujan deras.
3. Frekuensi dan Durasi
La Nina umumnya muncul setiap 2 hingga 7 tahun dan berlangsung selama 9 hingga 12 bulan dan dapat bertahan lebih lama, meski jarang terjadi.
Dampak utama dari kedatangan La Nina adalah meningkatnya curah hujan secara signifikan di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kawasan barat dan tengah. Peningkatan intensitas hujan ini membawa konsekuensi yang beragam, baik positif maupun negatif, tergantung pada wilayah dan sektor yang terdampak.
Dampak La Nina
Dampak Positif
Kenaikan curah hujan selama periode La Nina dapat meningkatkan ketersediaan air irigasi yang sangat bermanfaat bagi sektor pertanian. Petani dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas masa tanam dan meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Selain itu, volume air di waduk, bendungan, dan sumber air permukaan cenderung meningkat sehingga membantu menjaga pasokan air bersih serta mendukung produksi energi listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Dampak Negatif
Di sisi lain, curah hujan berlebih juga membawa risiko bencana hidrometeorologi yang tidak bisa diabaikan. Daerah dataran rendah dan kawasan padat penduduk berpotensi mengalami banjir, sementara wilayah perbukitan atau lereng gunung rentan terhadap tanah longsor. Selain itu, peningkatan kelembapan dapat memicu penyebaran penyakit, seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), yang disebabkan oleh berkembangnya populasi nyamuk di lingkungan lembap.
Perbedaan La Nina dan El Nino
La Nina dan El Nino merupakan dua fase yang saling berlawanan dalam siklus ENSO (El Nino–Southern Oscillation), yang mempengaruhi pola cuaca global, termasuk di Indonesia. Perbedaan utama keduanya terletak pada suhu permukaan laut, pola angin, serta dampaknya terhadap cuaca.
Pada saat El Nino, suhu permukaan laut di wilayah Pasifik tengah dan timur meningkat lebih dari 0,5°C di atas rata-rata. Kondisi ini terjadi karena angin pasat melemah, sehingga air hangat terdorong ke arah timur menuju Amerika Selatan. Akibatnya, Indonesia mengalami penurunan curah hujan yang cukup signifikan, yang kerap memicu kekeringan dan kebakaran hutan.
Sebaliknya, La Nina ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih dingin dari normal, atau turun lebih dari 0,5°C di bawah rata-rata. Angin pasat menguat, mendorong air hangat ke barat menuju wilayah Asia dan meningkatkan upwellingdi bagian timur Pasifik. Kondisi ini berimbas pada meningkatnya curah hujan di Indonesia, yang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Menurut NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), fenomena El Nino cenderung terjadi lebih sering dibandingkan La Nina, meskipun keduanya muncul secara periodik setiap dua hingga tujuh tahun.